Secara formal, Obin hanya menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar, namun pada tahun 1989, ia membuka toko pertamanya di Jepang (ia selalu menolak outletnya disebut sebagai “butik”, alasannya, “saya hanya tukang kain,”). Tahun 1989, tidak banyak orang Indonesia yang berpikir untuk membawa mereknya menjadi global brand, namun Obin sudah memiliki kesadaran sejauh itu.
Tukang kain itu memulai jauh lebih awal dari yang lain, dengan membuka toko pertamanya yang menyasar kelas menengah atas Jakarta, sejak tahun 1986. Kini, persepsi citra terhadap kain Obin sejajar dengan produk premium seperti Hermes dan Louis Vuitton, dan tentu saja dengan harga yang begitu tinggi. Sehelai Kain Obin bisa dibandrol dengan harga ribuan dollar.
Meski demikian, ia tidak melihatnya sebagai penghalang. “Saya yakin, jika seseorang membuat sesuatu dengan pengetahuan, ketekunan dan semangat, ia tidak akan punya masalah dengan penjualan,” kata Obin. Memulai bisnis sejak usia 17 tahun, Obin telah membuktikan dengan pengalaman kayanya bahwa sesulit-sulitnya seseorang membuat sesuatu untuk dijual, sama sukarnya dengan orang yang dalam keadaan untuk mencari sesuatu untuk dibeli. “Pekerjaan saya sebagai tukang kainlah untuk menemukan mereka yang mencari sesuatu untuk dibeli,” katanya.
Untuk Obin, itu bukan hanya sekadar ‘sesuatu’. Kain dan karya-karyanya berada di kelas tersendiri dan dengan keluwesannya bergaul, ia bisa diterima dengan mudah di kalangan jet set Indonesia dan dunia. “Ini bukan tentang apa yang saya mau buat, tapi saya harus turut merasakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.”
Begitu kita merasakan adanya suatu kebutuhan dan kebutuhan itu tidak ada, itulah pertanda agar kita perlu membuatnya.
Obin menyebut titik balik dalam karirnya terjadi pada tahun 1970-an. “Jika semesta diciptakan melalui sebuah big bang, maka saya memiliki momentum big bang saya sendiri,” kata Obin. Big Bang bagi Obin terjadi ketika pada tahun 1970-an, pemerintah membuka lebar-lebar pintu investasi asing dan lalu masuklah investor dari Jepang yang turun di bisnis tekstil. “Ketika orang-orang Jepang membangun pabrik tekstil, itulah saat dimulai adanya kebutuhan terhadap kreasi motif kain,” kata Obin.
Bisnis kain Obin mulai menggeliat pada masa-masa ini, ketika Ali Sadikin menjadi gubernur Jakarta dengan kebijakan akomodatifnya, dan ketika Jepang membangun pabrik tekstil di Bandung. “Saya percaya Bandung berkembang pesat dengan kontribusi dari orang-orang Jepang ini,” kata Obin. Inilah masa-masa ketika untuk pertama kalinya, orang-orang mencarinya untuk memesan horden, sarung bantal dan kain-kain pelapis.
Obin menghabiskan masa kecil dan remajanya di Hongkong. Ketika ia kembali ke Indonesia, ia menemukan cinta sejatinya pada kain tradisional dan kemudian menemukan metode untuk menghasilkan kain tenun tradisional dan mengawinkannya dengan motif-motif batik. Obin kemudian juga menguasai teknik produksi kain lainnya seperti sulam, ikat, tie & dye, stitch & dye dan semua teknik tradisional lain yang membuat kain Indonesia dikenal.
Kain-kain Obin termasyhur karena dibuat dengan tangan, tanpa bantuan mesin modern sama sekali. Itulah sebabnya, untuk menghasilkan sehelai kain bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Di dalam sehelai kain tersebut, selalu terdapat sentuhan personal Obin dengan segala keluasan maknanya. “Kain itu dibuat dengan tangan, jadi setiap helainya beda warna, beda corak, beda motif, beda tekstur. Ia punya nyawa sendiri,” kata Obin.
Ketika popularitas Batik meningkat sekitar tiga tahun yang lalu, ada permintaan yang tinggi akan produksi Batik masal. Namun, Obin teguh menjaga komitmennya. “Yang saya lakukan adalah mencipta, sementara yang mereka lakukan adalah memproduksi,” katanya.
Dengan kredo ini, ia terus berinovasi. Salah satu masterpiece-nya adalah aplikasi desain batik pada kain sutera yang ditenun dengan tangan. “Orangtua saya mengajarkan, kalau kamu melakukan sesuatu, berikanlah segala-galanya, atau tidak usah sama sekali,” katanya. Maka, dengan banyaknya karya yang dibuatnya, ia tidak bisa menyebutkan mana yang paling banyak menyerap energinya.
Ia menegaskan, karya-karyanya adalah seni itu sendiri, yang membutuhkan waktu dan energi yang luar biasa. Ia mengaku ia tidak selalu sukses memproduksi kain. “Saya dibesarkan dari serangkaian kegagalan,” katanya bijak. Membuat kain bagi Obin tak ubahnya seperti main games dan untuk masuk ke level berikutnya, seringkali harus menemui tantangan berat yang membuat kita harus mengulang dari semula. “Begitulah pula dalam membuat kain, dan saya percaya dalam membuat apapun, ada proses serupa.”
Kesalahan bukan kegagalan. Salah tidak berarti gagal. Sebuah kesalahan untuk dipelajari, supaya tidak terulang di kelak kemudian hari.
Selain menghasilkan karya yang baik, bukti totalitas Obin adalah dengan mengenakan apa yang menjadi karyanya sendiri. Di setiap kesempatan, kita akan jarang menemukan penampilan Obin selain apa yang telah menjadi ciri khasnya: kebaya, kain, rambut digelung, make up bersahaja. Tidakkah ada perempuan lain yang begitu melekat dengan kebaya dan kain selain Obin?
Suatu ketika, kita akan menemukan Obin sebagai sebuah legenda, ikon perempuan Indonesia dengan cinta yang mendalam, dan energi yang seolah tak habis-habis. “Saya tidak tahu dari mana energi ini berasal. Mungkin karena saya percaya. Saya peduli,” katanya.
Saya percaya, cinta dan kepedulian yang begitu besar bisa melahirkan energi yang luar biasa.
Dalam waktu dekat, ia akan membuka museumnya sendiri di Bali. Tidak berlebihan untuk menyebut museumnya akan menjelma eksibisi cinta, karena setiap karyanya dibuat dengan energi penciptaan yang didasari cinta. Resepnya sederhana saja. “Kalau kamu terpikir suatu ide, mainkan ide itu di kepala, corat-coret pakai tangan, jangan pakai mouse, dan lakukanlah.” Setelah itu, seolah untuk menegaskan, ia berkata lagi,“lakukanlah, maka itu akan terjadi.”